Buatku, hidup ini tidak lebih penting kecuali memberikan arti bagi kehidupan itu sendiri.saya tidak pernah merasa sudah hidup sebelum bisa menghidupi bagi banyak kehidupan. (Makna Hidup) Sementara kebendaan dan material adalah tempat munculnya kehidupan, dia bukanlah sumber kehidupan. Saya tidak akan pernah bisa hidup tanpa materi (tubuh), and so makan, minum, seks & semua aktifitas kehidupan lainnya. Tapi adanya "saya" menjadi hidup bukanlah untuk materi. (Sarana Hidup)

Saturday, September 23, 2006

Opini Terkait Eksekusi Mati Tibo, cs (pos kupang)

Epilog Untuk Tibo, Cs
Oleh Ben Wego *
SEBENARNYA yang menarik juga dari buku Machete Season oleh Jean Hatzfeld (2006) adalah kata pengantar Susan Sontag. Di bagian terakhir kata pengantar itu ia mengatakan kejujuran para pembunuh atas pembunuhan massal (genocide) yang memakan jumlah korban sekitar 800.000 jiwa dalam konflik Rwanda memberikan pelajaran moral berharga bagi orang dewasa bahwa kita tidak ada hak untuk mengelak dari kenyataan bahwa ada yang suka membunuh. Kendati kenyataan itu menyakitkan tapi itu jadi bagian dari moralitas orang dewasa. Apakah orang dewasa bisa melakukannya?
Dalam tempo yang relatif singkat, kurang lebih tujuh bulan (April-Oktober) kemanusiaan mendapat noktah hitam yang disponsori oleh orang-orang yang bersenjata yang tahu soal strategi dan mencoba untuk keluar dari jerat hukum. Dalam film Hotel Rwanda, Jenderal Mizibunggu adalah opium yang mengalir dalam nadi para pembunuh. Penyekapan dan pembunuhan yang dilakukan di sebuah hotel atas para pengungsi yang adalah suku Tutsi akhirnya menarik masuk juga Paul Rosesabagina yang berasal dari suku Hutu yang mencoba bernego siang malam bahkan berjanji untuk membayar Jenderal Mizibunggu dan para pengikutnya agar berhenti melakukan perbuatan jahanam itu.
Tapi uang tampaknya selalu kalah dan selalu tidak memuaskan. Penyekapan itu kemudian berhasil diintervensi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Jenderal Mizibunggu dan pembantunya George Rutugunda yang sempat melarikan diri di pengasingan akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman sebagai penjahat perang dan hukuman seumur hidup.
Dalam Machete Season ada dari para pembunuh itu yang bersaksi dengan sangat sedih dan menohok. Para pembunuh itu dibawa ke sebuah lapangan untuk dilatih dengan komando-komando yang strategis, tragis dan barbaris. Mereka diperintahkan pertama dan utama untuk membunuh dan ketika mereka mendapat kesulitan eksistensial berhadapan dengan gejolak kemanusiaan di dalam gurat hati nurani karena membunuh, mereka kembali kepada sang komandan/pelatih untuk meminta petunjuk. Mereka heran perintah/komando yang kedua sama dengan yang pertama yaitu: membunuh. Para pembunuh itu tetap mendapat kesulitan yang sama karena nurani mereka berteriak-teriak. Mereka tidak ingin membunuh. Kali ini mereka sendiri berusaha menjawab pertanyaan mereka sendiri sebab kalau perintah yang pertama sama dengan perintah kedua, sudah hampir pasti perintah ketiga akan sama dengan yang pertama dan kedua dan seterusnya. Mereka lalu dengan kalap membunuh setiap orang dari suku Tutsi dan suku Hutu yang ingin membela kawan-kawan sekampung (Tutsi) yang sudah hidup bersama selamaberabad-abad.
Cuci otak (brainwash)! Pekerjaan ini tidak seperti dilakukan di rumah sakit. Yang satu ini ditandai oleh teror, intimidasi dan terakhir selalu sama dengan yang pertama bunuh. Apakah kemanusiaan menegasi? Kalau ya, apakah negasi itu? Yang jelas bahwa dari banyak pilihan yang dihadapi manusia, kehidupan selalu bukan pilihan. Ia adalah keterberian alami kodrati. Ia ada sebelum kita memilih. Bahkan kematian pada satu titik bukanlah negasi dari kehidupan. Kematian adalah proses alami yang diterima oleh setiap orang yang hidup dan karena kematian itu begitu riil maka menghadapi kematian, manusia bersikap pasrah, membiarkan diri diuji, begitu kata The Book of Wisdom sampai layak bagiNya. Manusia bisa berharap kepada Tuhan agar tubuh yang terkulai dapat memperoleh jaminan yang abadi.
Joseph Pieper (2000) pernah berkata bahwa manusia sebenarnya meninggal setiap hari. Coba perhatikan keadaan di mana kita bergegas tidur kemudian tertidurlah kita sepanjang malam lalu kita bangun besok pagi tanpa tahu apa yang terjadi selama selang waktu tidur sampai bangun. (Mimpi? Siapa bilang dia bisa mengingat mimpi-mimpi sejak dia bisa mulai bermimpi). Ia menyebutnya sebagai ‘kematian kecil.’ Jadi kematian itu sebenarnya tidak perlu dibuat-buat. Dia ada setiap hari dan manusia memang akan mati. Cepat atau lambat. Paradoksnya adalah kapan?
Kini Tibo dan teman-teman sedang berada di depan kita. Apakah kita perlu bersyukur sesudah mereka dihukum mati? Apakah kita bersorak-sorai atas keberhasilan hukuman mati itu yang sudah ditunda beberapa kali dengan alasan teknis dan alasan teknis itu direduksi sedemikian rupa sehingga alasan itu tampak memenuhi format martabat (dignity) manusia. Dengan kata-kata apa kita akan berdoa kepada Tuhan? Bagaimana kalau kita berpikir bahwa Tuhan ternyata tidak bisa ditipu atau digurui dan pilihanNya untuk berpihak kepada manusia dengan jalan menciptakannya adalah suatu hadiah yang diperoleh manusia secara cuma-cuma tanpa pernah menuntut manusia untuk membayarnya kembali?
Ironi dalam kasus Tibo, Cs adalah bahwa para pembela dari Padma menunjukkan bahwa mereka tidak bersalah. Kemudian mereka bukan hanya dihukum tapi dihukum mati di depan para penegak hukum. Adakah sesuatu yang salah dalam proses hukum? Siapa yang sebetulnya harus memberikan pertanggungjawaban publik bahwa orang yang tidak bersalah bisa atau boleh dihukum mati? Dalam wacana publik macam manakah masyarakat dianjurkan untuk mencari perlindungan hukum? Adakah semacam komando terselubung di mana kebenaran harus ‘dicuci’ dengan keinginan komandan yang mungkin tidak puas atau merasa tidak aman oleh konflik/persoalan yang jika terbukti benar akan memantik kematiannya sendiri? Kita berhadapan dengan sebuah komando sekarang, tapi kita tidak tahu siapa yang sungguh akan bertanggung jawab ataumempertanggungjawabkan kebenaran ketiga orang yang menurut kuasa hukum mereka tidak bersalah?
Merunut pengadilan Tibo, Cs seperti yang diwacanakan ada kesan sedang terjadi akumulasi konflik dan konflik itu dipakai untuk memelihara para aktor intelektual yang sedang bertanding di luar arena. Jadi orang-orang yang disebut Tibo, Cs sebagai master mind sebetulnya adalah orang-orang pandai yang bisa memindahkan ‘pion-pion’ konflik dan memainkannya dengan membutuhkan sebuah judi dan judi itu harus cepat diselesaikan. Kapan judi berikut lagi tentu bukan sesuatu yang mengherankan dan luar biasa. Dan ini mengherankan sekaligus menggelisahkan, bahkan menakutkan karena di satu sisi hukum sebagai perisai sosial yang handal untuk mengakomodasi dan menyelesaikan pergeseran konflik sosial, kebenaran sebagai simbol perjuangan dan pelawanan tampak tidak menarik simpati lagi. Masyarakat dibuat sunyi. Mereka dilibatkan untuk menonton judi itu tapi dengan cara di mana mereka harus segera kecapaian sehingga tidak tahu siapa pemenang judi itu. Kebenaran sebagai cita-cita (idea) makhluk berakal budi yang bernama manusia telah digeser kepada suatu kedudukan yang mencemaskan. Kebenaran bukan hanya tidak bisa disuarakan lagi, tapi mulut pencari kebenaran sengaja disumbat dengan judi. Apakah ini tanda kematian sosial bersama sudah diambang pintu? Apakah kita setuju dengan Susan Sontag?
* Penulis,
rohaniwan Katolik,
tinggal di Amerika Serikat
Socrates, Yesus dan Tibo, Cs
Oleh Acry *
MEREKA ini di antara orang yang sudah dihukum mati atau akan dihukum mati karena suara terbanyak atau keinginan mayoritas dengan dalil demokrasi, hukum dan sebagainya. Demikian banyaknya tangan-tangan yang kelihatan dan yang tak kelihatan di balik hukum. Mereka menafsirkan hukum sesukanya untuk kepentingan tertentu sehingga keputusannya mendatangkan kontroversi sepanjang masa, malahan banyak keliru pada akhirnya. Dalam kenyataannya suara terbanyak atau suara mayoritas atau bahkan demokratis itu tidak selamanya baik dan benar. Di dunia ini mayoritas lokal itu cenderung angkuh, ceroboh dan mau menang sendiri dan tidak menyadari kalau ia mayoritas sekaligus minoritas dari ukuran yang lain.
Hanya sedikit orang yang baik di dunia ini. Hanya sedikit pemerintahan yang baik. Hanya sedikit hakim, jaksa, polisi, pengacara, pejabat mana pun yang baik. Tetapi yang baik itu pun sudah pasti tidak sempurna, apalagi yang tidak baik. Kalau lebih banyak orang baik tentu tak perlu banyak aturan. Aturan itu dibuat karena antaralain ada ketakutan para penguasa bahwa rakyat tidak akan secara permanen untuk setia padanya. Machiavelli berucap "bahwa semua manusia jahat dan bahwa mereka akan selalu condong pada kejahatan yang ada dalam pikirannya jika ada kesempatan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa mereka tidak pernah melakukan kebaikan kecuali kewajiban memaksa mereka melakukan hal tersebut. Manusia tidak tahu terima kasih, pembohong yang lihai, sangat ingin menghindari bahaya dan iri dengan hasil yang dicapai orang lain. Mereka adalah binatang yang terutama didorong oleh kepentingan diri sendiri, ketamakan pribadi, ketakutan, kesombongan, dan nafsu akan kekuasaan" (Henry J. Schmandt, A History of Political Philosophy, 2002, h.254).
Pada abad ke-5 SM Socrates tidak setuju bila hukum dibuat untuk kepentingan raja. Ia mengajarkan kepada anak-anak muda bahwa hukum bukan untuk kepentingan penguasa tetapi untuk kesejahteraan rakyat. Karena ajarannya itu ia dianggap penghasut. Rame-rame menghukum dia kecuali anak-anak muda. Socrates bela diri mati-matian bahwa ia benar tetapi tetap dihukum dengan cara paksa minum racun oleh pemerintahan yang dikatakan paling demokratis untuk pertama kali ditemukan di dunia ini. Mayoritas dan penguasa puas sesaat dan seterusnya hanya menerima cercaan hingga hari ini. Murid kesayangannya, Plato, menulis buku pertama Apologia, berisi uraian tentang pembelaan terhadap gurunya Socrates yang dihukum mati. Kematian Socrates akhirnya menimbulkan kebencian terhadap paham/praktek demokrasi waktu itu di Athena. Aristoteles malahan menilai pemerintahan demokrasi itu adalah bentuk yang paling buruk sama dengan tirani. Menurutnya, lebih baik seorang raja yang bijaksana daripada menaikkan orang-orang miskin dan haus kekuasaan menjadi penguasa sebab mereka akan benar-benar mabok kekuasaan dan harta pada akhirnya.
Yesus lain lagi dan sengaja disandingkan di sini dari sisi manusianya. Tokoh dengan pengikut terbanyak di dunia ini malahan tidak mau bela diri ketika dijatuhi hukuman mati melalui demokrasi ala Yahudi. Hanya dengan yel yel "salibkanlah dia" mereka berhasil menghukum Yesus dan menyelamatkan Barabas yang terang benderang melakukan kejahatan. Pilatus terpaksa menyerah karena tekanan massa.
Tibo, Cs adalah korban konspirasi dan rekayasa (Gregor Neonbasu, Pos Kupang 19 /9/2006). Tim pembela pernah minta sekiranya terjadi pengadilan ulang agar jangan di Palu karena para penegak hukumnya mungkin tidak bebas di sana. Tibo Cs sudah membela diri mati-matian. Pembelaannya dibukukan dan diterbitkan Padma Indonesia dengan judul Jeritan Hati Nurani saya. "Saya tidak membunuh. Tangan saya bersih dari darah, karena itu saya mohon kepada Padma Indonesia dan semua orang yang punya hati, tolonglah saya dan kedua teman saya. Selamatkan kami. Saya masih berharap akan keajaiban Tuhan," tulis Tibo (Pos Kupang, 20/8/2006). Bila Gregor mengutip pandangan "as long as this is your choice, it’s ok" namun kalau saya bisa menyela saya akan katakan
"even if he want but that life not his right". Jadi sekiranya Tibo, Cs setuju pun kita harus halangi, apalagi mereka minta bantuan kita untuk menyelamatkan hidupnya. Jika mereka benar-benar jadi dibunuh oleh penguasa melalui pengadilan yang dikatakan sesat itu, maka itu harus tetap menjadi peringatan bagi kita sebagaimana ungkapan Kung Fu Tzu bahwa "Pemerintahan yang menindas lebih mengerikan dari harimau" (Bertrand Russell, 1988:211). Buatkan untuk mereka bertiga suatu tugu peringatan dengan tulisan "Ini orang sederhana berjiwa besar." Taruh di jalan besar antara Lewoleba dan Labuan Bajo dari mana mereka berasal atau dimana pun agar tetap dilihat oleh masyarakat setiap waktu.
Jadi antara Socrates, Yesus dan Tibo cs ada persamaan bahwa mereka ini korban dari konspirasi dan rekayasa elite serta desakan suara mayoritas. Ternyata suara terbanyak itu belum tentu benar dan baik. Democracy future?
* Penulis, Dosen Undana, Kupang

0 Comments:

Post a Comment

<< Home