KTT Liga Arab Semakin Menuai Kritik
COMES:- KONFERENSI Tingkat Tinggi Liga Arab telah berakhir hari Rabu (23/3) lalu di Aljazair, di tengah kritik keras dari dunia Arab sendiri.
KAUM cendekiawan dan massa akar rumput Arab memberi suara seragam dalam mengungkapkan kekecewaan dan sekaligus kritik terhadap fenomena dunia Arab serta kinerja lembaga Liga Arab selama ini.
AljazeeraNet membuat reportase lapangan menarik dengan memilih Aljazair dan Palestina sebagai contoh opini atas penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab itu. Aljazair dipilih karena posisinya sebagai tuan rumah dan Palestina adalah isu utama dalam semua KTT Arab.
Seorang pemuda Aljazair bernama Nurouddin (32), alumnus ilmu politik Universitas Aljazair, mengaku secara jujur merasa tak punya kepentingan dengan penyelenggaraan KTT Arab di negaranya dan tidak mendapat informasi tentang KTT itu kecuali lewat spanduk di jalan-jalan raya ibu kota Aljazair. Menurut dia, KTT Arab selalu telah diketahui hasilnya dan tidak pernah memberi sesuatu yang baru.
Di Palestina, kalangan akar rumput menyampaikan opini yang sama. Seorang pedagang kaki lima di kota Ramallah, Tepi Barat, Saad Khalel, mengatakan, hasil KTT Arab telah diketahui sebelumnya dan suara reformasi yang didengungkan Liga Arab lebih bersifat administratif daripada menyangkut kepentingan rakyat kebanyakan.
Seorang insinyur Palestina, Ahmed Mahmud, berpendapat KTT Arab lebih berupa forum saling kangen antara pimpinan Arab. Adapun reformasi hakiki di dunia Arab hanya bisa terjadi bila ada pergantian pimpinan Arab saat ini.
Suasana dalam forum KTT Arab itu juga merefleksikan ketidakberdayaan lembaga Liga Arab dan carut-marutnya persepsi para pemimpin Arab. Misalnya Sekretaris Jenderal (Sekjen) Liga Arab Amr Mousa dalam suatu pertemuan tertutup mengancam akan mengundurkan diri jika negara-negara Arab tak memenuhi iuran sesuai dengan kuota yang ditetapkan, mengingat Liga Arab saat ini nyaris bangkrut jika tidak ada suntikan dana segera. Liga Arab kini mempunyai utang 170 juta dollar AS.
Rangkaian sidang dalam konferensi yang berlangsung hampir sepekan sejak sidang tingkat pejabat tinggi, tingkat menteri luar negeri, hingga KTT, tersita pula oleh perdebatan tentang isu proposal damai Jordania yang menginginkan normalisasi hubungan dunia Arab dan Israel sebelum adanya penyelesaian konflik Arab-Israel. Proposal damai Jordania itu akhirnya ditolak mentah-mentah dalam sidang tingkat menlu Arab.
Para menlu Arab kemudian merekomendasikan kepada forum KTT untuk mengaktualisasikan kembali proposal damai Arab yang disahkan KTT Arab di Beirut tahun 2002, yakni meminta Israel mundur dari seluruh tanah Arab yang diduduki pada tahun 1967, berdirinya negara Palestina dengan ibu kota Jerusalem Timur, dan solusi adil atas pengungsi Palestina dengan imbalan normalisasi hubungan dunia Arab secara kolektif dengan Israel.
KTT Arab memutuskan membentuk troika yang beranggotakan Aljazair, Tunisia, dan Sudan ditambah sejumlah negara Arab lain yang akan ditentukan kemudian, untuk menyosialisasikan proposal damai Arab pada masyarakat internasional.
Menlu Aljazair Abdelaziz Belkhadem dalam temu pers seusai sidang menlu Arab itu menegaskan, KTT Arab di Aljazair bukan untuk normalisasi hubungan dengan Israel. Sekjen Liga Arab Amr Mousa dalam pidato pembukaan KTT juga menyatakan, komitmen dunia Arab harus dengan imbalan komitmen Israel pula, karena tidak ada langkah gratis.
Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika juga menegaskan, negara-negara Arab bersedia menjalin hubungan dengan Israel bila Tel Aviv mundur dari seluruh tanah Arab yang diduduki pada tahun 1967.
GAGALNYA proposal damai Jordania itu menunjukkan ketidaksiapan dunia Arab secara psikologis mengadakan normalisasi hubungan dengan Israel sebelum ada solusi adil atas isu Palestina.
Suasana tegang masih belum reda akibat perdebatan soal proposal damai Jordania itu, tiba-tiba Pemimpin Libya Moammar Khadafy dalam pidato penutupan KTT menyampaikan kembali, solusi satu negara demokrasi untuk Israel dan Palestina di tanah Palestina dengan nama "Isratin".
Menurut Khadafy, mustahil ada dua negara untuk Israel dan Palestina di wilayah Palestina. Khadafy memaksakan kembali inisiatifnya itu yang telah dilontarkan sejak tiga tahun lalu meski tidak mendapat sambutan masyarakat internasional, apalagi dunia Arab dan Israel.
Dengan demikian, ada tiga opsi solusi konflik Israel-Palestina dalam forum KTT Arab di Aljazair, yaitu proposal damai Arab, proposal damai Jordania, dan proposal damai Khadafy.
Adanya tiga opsi solusi konflik Israel-Palestina itu tentu menunjukkan pula ketidakmampuan pemimpin Arab menyatukan persepsinya atas isu sentral bangsa Arab, yaitu isu Palestina. Ironisnya, Israel sudah menolak mentah-mentah proposal damai Arab sejak diumumkan tiga tahun lalu pada KTT Arab di Beirut.
Menlu Israel Silvan Shalom dalam forum Knesset hari Kamis lalu menuduh Suriah, Aljazair, dan Sekjen Liga Arab Amr Mousa menggagalkan proposal damai Jordania dalam KTT Arab yang telah mendapat sambutan positif Israel itu.
Inisiatif Khadafy pun mengundang kritik dari pihak Palestina sendiri. Sekretaris Kepresidenan Palestina Tayyeb Abdel Rahem, seperti dikutip kantor berita Palestina WAFA hari Kamis kemarin, mengkritik keras Khadafy yang menggunakan kalimat tidak santun menyangkut rakyat Palestina dan tidak menghormati keputusan KTT Arab di Aljazair.
Abdel Rahem meminta Khadafy tidak mengekspor teorinya kepada rakyat Palestina karena tidak ingin ada perpecahan lebih lanjut.
Tidak adanya terobosan baru dari KTT Arab di Aljazair tentang inisiatif damai Timur Tengah itu menyebabkan konsep peta perdamaian yang diprakarsai kuartet internasional (AS, Rusia, Uni Eropa, dan PBB) tetap sebagai inisiatif damai utama saat ini yang tidak tertandingi oleh inisiatif damai lainnya.
Sedangkan inisiatif sepihak Israel mundur dari Jalur Gaza dan wilayah Tepi Barat utara masih terus diupayakan masyarakat internasional sebagai bagian dari pelaksanaan konsep peta perdamaian.
Maka, KTT Liga Arab dinilai gagal mengakomodasi proses perdamaian Timur Tengah yang bergulir kembali saat ini, sesuai dengan realitas perkembangan baru di pentas regional dan internasional. Tugas troika Arab untuk menyosialisasikan proposal damai Arab itu praktis gagal sebelum mereka melaksanakan tugasnya.
Liga Arab juga memberi rekomendasi klasik atas isu-isu lain seperti isu Irak, Suriah, Sudan, dan bahkan tidak menyinggung masalah hubungan krusial Suriah-Lebanon pascatewasnya mantan Perdana Menteri Lebanon Rafik al Hariri.
Reformasi yang telah direkomendasikan KTT Arab di Tunisia Mei 2004 juga dinilai lamban pelaksanaannya dan tidak ada inovasi atas konsep reformasi yang dituangkan dalam rekomendasi KTT Arab di Tunis.
Menyangkut reformasi institusi lembaga Liga Arab, KTT Arab di Aljazair hanya mengesahkan pembentukan parlemen Arab transisi selama lima tahun yang bermarkas di Damascus, Suriah. Sedangkan masalah pembentukan lembaga peradilan Arab dan dewan keamanan Arab ditunda pada KTT Arab tahun depan yang akan digelar di Khartoum, Sudan.
PENGAMAT politik dari Universitas Cairo, Ahmed Yousef Ahmed, mengatakan, KTT Arab di Tunisia tahun 2004 telah memberi rekomendasi, masalah pelaksanaan reformasi akan diputuskan pada KTT Arab di Aljazair. "Namun ternyata sidang dan dialog yang berlangsung hampir selama satu tahun ini hanya meloloskan pelaksanaan satu agenda reformasi, yaitu pembentukan parlemen Arab transisi selama lima tahun yang bermarkas di Damascus," kata Ahmed.
Menurut Ahmed, pemimpin Arab selalu segera setuju jika berbicara reformasi secara makro, tapi ketika menginjak pada pembicaraan rinci, mereka selalu berbelit-belit. Ia mencontohkan keputusan pembentukan lembaga peradilan Arab pada KTT Arab di Alexandria tahun 1964, namun sampai saat ini belum terlaksana.
Profesor ilmu politik pada Universitas Cairo, Hassan Nafa, dalam artikelnya berjudul "KTT Arab, dari Mana dan ke Mana" pada harian Asharq al Awsat edisi 21 Maret mengatakan, sejarah KTT Arab selalu diwarnai tiga masalah.
Pertama, isu konflik Arab-Israel mendominasi agenda acara KTT Arab. Kedua, KTT Arab selalu sebagai reaksi atas inisiatif atau situasi krisis yang diciptakan orang lain, bukan sebagai langkah preventif atau antisipatif menghadapi inisiatif atau situasi tertentu. Ketiga, keputusan KTT Arab bukan ditujukan menyelesaikan krisis atas isu tertentu yang menjadi tujuan digelarnya KTT tersebut, namun lebih ditujukan mengurangi tekanan akibat krisis atau ancaman yang dihadapi dunia Arab.
Menurut Nafa, sangat sulit forum KTT Arab menjelma sebagai terapi memperbaiki kelemahan institusi kerja sama Arab atau mengambil langkah preventif mencegah terjadinya sebuah krisis tanpa dilakukan reformasi mendasar lembaga Liga Arab.
Cendekiawan Arab, Hasyim Saleh, dalam artikelnya berjudul "Arab dari Pembebasan Asing Menuju Pembebasan Diri" pada harian Asharq al Awsat edisi 21 Maret mengatakan, bangsa Arab selama 50 tahun terakhir selalu mengumandangkan slogan "tidak ada suara yang lebih tinggi daripada suara pertempuran".
Maka, kata Saleh, seluruh upaya dan daya bangsa Arab dikonsentrasikan untuk menghadapi isu sentral, yaitu mengembalikan tanah yang diduduki, bebas dari dominasi asing, dan tidak seorang pun berbicara tentang kebebasan pers, sistem multipartai, dan hak berbeda pendapat.
Namun, lanjut Saleh, sekarang mulai terjadi perubahan mendasar meskipun perjalanan masih panjang. "Logika Arab lama telah menjadi bagian masa lalu dan kini diganti logika baru berkat pengaruh internal dan eksternal. Unjuk rasa hampir setiap hari di pusat kota Beirut, inisiatif Presiden Hosni Mubarak menggelar pemilu langsung dan rahasia di Mesir, atau keputusan Hamas ikut pemilu legislatif Palestina, menunjukkan adanya geliat perubahan ke arah demokrasi di dunia Arab," kata Saleh yang juga staf pengajar pada Universitas Sorbonne, Perancis.
Wartawan senior Al Ahram, Marsa Ataallah, mengatakan, jika seseorang menanyakan tentang KTT Arab yang digelar di Aljazair pada 22 dan 23 Maret lalu, niscaya dia akan menyampaikan bahwa Liga Arab berada dalam persimpangan jalan yang membutuhkan introspeksi diri dengan mengambil pelajaran selama 50 tahun terakhir, yakni sebuah masa yang penuh kepahitan dan kegagalan.
Menurut Ataallah, Liga Arab butuh energi baru untuk mengembalikan semangat rakyat Arab yang dihinggapi rasa putus asa dan kecewa hingga mereka tidak percaya lagi pada lembaga Liga Arab. Ia lebih jauh menegaskan, dunia kini memasuki era baru dengan ditandai perubahan besar dan mendasar dalam bentuk bergulirnya arus kebebasan, demokrasi, serta keterbukaan budaya dan pemikiran.
Maka, kata Ataallah, dunia Arab harus segera beradaptasi dengan perubahan dunia itu jika tidak ingin tergilas masa.
Ia juga mengatakan, mulai adanya perubahan logika berpikir para penguasa Arab ke arah demokrasi merupakan fenomena positif dan menjanjikan karena semakin tertanamnya demokrasi akan membantu memperkuat pula legitimasi pemerintah negara-negara Arab di mata masyarakat internasional dan rakyatnya pada masa ini.
Sedangkan Pemimpin Redaksi Harian Al Ahram Ibrahin Nafi dalam editorialnya hari Jumat (25/3) mengatakan, KTT Arab di Aljazair telah mencapai harapan minimal bangsa Arab dengan tekad mereka memperkuat semangat kerja sama Arab dan memperbaiki mekanismenya. Menurut Nafi, sekarang tinggal menunggu pelaksanaan keputusan KTT Arab Aljazair untuk diterjemahkan dalam kenyataan hingga rakyat Arab merasa adanya kerja nyata Liga Arab dan para pemimpinnya yang bisa memberi harapan masa depan yang menjanjikan kepada mereka. (KCM, Musthafa Abd Rahman, dari Cairo)

0 Comments:
Post a Comment
<< Home