WISATA RANSEL KE PULAU FLORES
Wisata Ransel ke Flores
Anda pernah mendengar istilah backpacking? Secara bebas saya terjemahkan saja sebagai "wisata ransel". Pelaku wisata ini cukup membawa satu ransel punggung yang besar untuk mengemas seluruh bawaannya. Sebetulnya ini termasuk jenis wisata petualangan dengan ongkos hemat. Wisata ini khususnya digemari oleh remaja Amerika dan Eropa.
Dalam wisata ini, kita tidak mencari hotel mewah atau restoran yang eksklusif, tetapi menjelajahi daerah wisata hanya bermodalkan ransel dan tenda. Dengan cara ini kita memang tidak bisa bermewah-mewah, tetapi justru dapat bersantai dalam kesahajaan, sekaligus belajar banyak dari petualangan yang diperoleh. Baru-baru ini saya sempat mencoba berwisata ransel ke Pulau Flores selama sembilan hari. Dengan modal ransel, saya mengawali perjalanan dari Labuhan Bajo, di ujung barat Pulau Flores, dan pulang dari Maumere di Flores Timur. Sesampainya di Bandara Komodo, Labuhan Bajo, saya sempat terkejut melihat raut muka orang Flores dengan kumis khasnya yang terkesan garang. Tetapi, begitu diajak berbicara, mereka sangat ramah dan tidak segan-segan membantu kita. Kota Labuhan Bajo sangat kecil, hanya terdiri dari sebuah jalan utama. Di sepanjang jalan terdapat berbagai macam penginapan dan restoran serta toko-toko kecil. Ada beberapa restoran yang cukup besar dengan papan petunjuk berbahasa Inggris. Jika kita menyusuri jalan utama Labuhan Bajo dari arah bandara, maka di sebelah kiri akan terlihat Pantai Bajo yang sangat indah, dengan Pulau Monyet yang terletak di tengah-tengah teluk. Konon, di pulau itu hidup puluhan kera yang asal-usulnya masih misterius. Duduk santai sambil melihat matahari terbenam di Teluk Bajo merupakan pengalaman yang sangat indah, dengan sinar matahari yang menguning dan kapal-kapal nelayan yang menyalakan petromaks mereka. Tetapi, ketika malam tiba, seluruh pantai gelap gulita, hanya lampu-lampu dari kapal nelayan yang dapat dilihat. Setelah menginap di salah satu losmen, saya memutuskan untuk pergi ke Pulau Komodo keesokan harinya. Berdasarkan info dari pegawai losmen dan beberapa rekan sesama turis, akhirnya saya memutuskan untuk menyewa kapal nelayan dan berangkat pukul enam pagi ke Pulau Rinca. Taman Nasional Komodo terdiri dari dua pulau, yaitu Pulau Rinca dan Pulau Komodo. Jika Anda punya banyak waktu, dianjurkan untuk menginap di Pulau Komodo, karena pulau itu lebih besar dan membutuhkan sekitar empat jam perjalanan lewat laut. Tapi untuk kunjungan singkat, Pulau Rinca lebih tepat, sebab dapat dicapai dengan 2½ jam perjalanan saja. Bila dengan speedboat tentu jauh lebih cepat. Perjalanan ke Pulau Rinca sangat indah. Dengan perahu nelayan kami menyusuri pantai Barat Flores, melalui belasan pulau-pulau kecil dan gosong-gosong pasir. Banyak ikan berloncatan di permukaan laut, seperti ikan tongkol dan ikan cucut. Kadang-kadang ada sekawanan ikan terbang yang melayang di atas air. Pulau Rinca cukup dekat, kita hanya menyeberangi Selat Molo yang memisahkan Pulau Rinca dari daratan Flores. Menurut info dari pengemudi perahu, jika kita berlayar ke Pulau Komodo melalui Selat Sape, maka pada bulan-bulan tertentu kita dapat melihat sekawanan ikan paus dan lumba-lumba yang sedang bermigrasi menuju Samudra Pasifik. Sungguh menakjubkan! Pulau Rinca menawarkan pemandangan yang lain. Dengan puluhan pohon pinang dan lansekap yang gersang, Anda akan merasa seperti berada di zaman purba seperti di film Jurassic Park. Apalagi ketika melihat komodo yang sedang berjalan melintas, maka kita seakan melihat Raptor atau T-Rex sedang berlalu-lalang. Dengan dipandu oleh seorang jagawana, saya menempuh perjalanan sekitar lima kilometer dengan berjalan kaki. Di sepanjang perjalanan kami bisa melihat sekawanan rusa, burung gosong, kerbau hutan, dan tidak lupa belasan komodo dengan berbagai posisi. Sungguh pengalaman yang luar biasa, bisa menyaksikan komodo, sang Fosil Hidup, di habitat alamiahnya! Keesokan harinya saya melanjutkan perjalanan ke Ruteng. Ruteng adalah ibukota Kabupaten Manggarai yang terletak di pegunungan. Saya menumpang angkutan antarkota yang di Jakarta dikenal dengan mobil tiga perempat. Karyawan losmen mengingatkan bahwa supir angkutan itu "gila" cara menyetirnya. Ternyata mereka tidak segila supir-supir bus di Jawa. Saya bisa duduk santai sambil melihat pemandangan tanpa merasa mabuk. Pemandangan sepanjang perjalanan sangat indah. Lansekap Flores sangat berbeda dengan Jawa, karena kontur tanahnya lebih ekstrim. Jarak antara bukit atau gunung dengan laut sangat dekat, sehingga dalam satu jam perjalanan Anda dapat bergerak dari pantai ke puncak gunung, lalu melihat laut dari puncak gunung. Kondisi jalannya cukup bagus, seringkali berkelok-kelok dan terjal. Mobil angkutan yang saya naiki penuh dengan barang dan ternak di atapnya. Beberapa orang juga membawa golok, yang sebenarnya sudah tidak diperlukan sejak adanya jalan raya, tetapi tetap dibawa dalam perjalanan jauh sebagai tradisi. Ada juga yang menggunakan kopiah serta sarung khas Manggarai yang hitam dengan pola warna-warni. Mereka sangat ramah dan kami mengobrol dengan akrab, walaupun saya agak sulit mengikuti pembicaraan karena seringkali mereka menggunakan bahasa daerah. Kota Ruteng lebih besar dari Labuhan Bajo. Ruteng terletak di pegunungan, di dekat Gunung Ranaka yang masih aktif. Kebetulan saya bisa menginap di rumah rekan yang saya kenal di Jakarta, dan berada di sana pada saat Natal. Di sanalah justru saya bisa mencicipi masakan khas Flores, karena restoran Flores sangat jarang ditemukan. Makanan khas Flores adalah roti kompiang, yaitu roti padat yang diberi wijen. Ada juga sayur daun paku yang rasanya segar dan agak pahit, serta minuman sopi yang beralkohol. Orang Manggarai sangat suka minum kopi. Setiap kali bertamu, Anda akan disuguhi kopi buatan sendiri yang rasanya sangat mantap. Bahkan, untuk orang Manggarai ada acara minum kopi sebelum tidur! Natal di Ruteng juga menawarkan kesan tersendiri. Sebagian besar penduduk Flores beragama Katolik, sehingga Natal merupakan perayaan besar di sana. Tidak seperti di Jakarta, di mana manusia salju dan pohon natal mendominasi dekorasi Natal, orang Flores menaruh lampion yang berbentuk bintang, pohon cemara, atau gereja di depan rumah sebagai dekorasi Natal. Di pinggir jalan dan sekitar gereja juga banyak ditemukan lampion-lampion itu. Bila kita berjalan-jalan di malam hari, Kota Ruteng menjadi seperti pohon natal raksasa dengan hiasannya yang menyala di malam hari. Pada malam Natal dan tanggal 25 Desember, Ruteng seperti kota mati. Semua toko tutup. Hampir semua angkutan umum tidak beroperasi. Penduduk Ruteng berjalan beriringan menuju ke gereja yang terletak di kaki bukit. Misa pun berlangsung dengan khidmat, disertai acara persembahan adat. Para tetua adat secara simbolis menyerahkan hasil bumi dari daerah mereka sebagai persembahan kepada Tuhan. Indonesia sebenarnya memiliki potensi wisata yang luar biasa. Sayangnya, sebagai orang Indonesia kita kadang kurang menyadarinya, bahkan memilih untuk pergi ke luar negeri untuk berwisata. Memang, sarana wisata kita jauh dari memadai. Tetapi, itu bukan alasan bagi kita untuk tidak menggalinya. Justru kalau bukan kita, siapa lagi yang akan mengembangkan kekayaan alam kita? Dengan wisata ransel, selain melihat pemandangan alam, kita juga dapat menyelami kehidupan penduduk asli di tempat wisata tersebut, mengenali cara berpikir mereka, budaya mereka, dan adat istiadat mereka. Pengalaman ini juga dapat mengembangkan kecintaan kita terhadap bumi Indonesia. Masih banyak keindahan lain yang sedang menunggu untuk penggemar wisata ransel: keindahan Pulau Sawu, desa pemburu ikan paus di Pulau Lembata, alam laut Banda, panorama Bukittinggi, dan lain-lain. Jadi, tunggu apa lagi? (bondan winarno, pimred suara pembaharuan) (SABDA-ALAM)

2 Comments:
sedap....
informatif banged! mudah2an bisa yah dalam waktu dekt sampai di Pulau Bunga itu...=)
1:16 AM
kunjungi flores sekarang maka kamu akan semakin mencintainya karena keindahanya yang masih sangat alamiah
6:33 AM
Post a Comment
<< Home