INDONESIA DAN KONFLIK PALESTINA-ISRAEL
Indonesia dan Konflik Israel-Palestina
trias kuncahyono
Akankah ada perdamaian di Timur Tengah? Fakta di lapangan, memang, membuat ciut hati semua pihak.
Sejak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menerbitkan Resolusi 242 Tahun 1967, sudah berapa banyak resolusi lainnya yang menyusul tetapi belum juga mampu menghentikan permusuhan Israel-Palestina. Sudah begitu banyak konferensi internasional atau perundingan perdamaian dilakukan, tetapi tanda-tanda damai itu juga belum kelihatan.
Dari sekian banyak perjanjian perdamaian, baru Perjanjian Camp David (1978) yang dapat dikatakan memberikan hasil. Perjanjian itu mengakhiri permusuhan antara Israel dan Mesir. Berdasarkan perjanjian itu, Israel mengembalikan Gurun Sinai yang direbutnya pada tahun 1967 kepada Mesir.
Usaha terakhir, sampai saat ini adalah lewat ”peta jalan damai” (roadmap). Usaha untuk mendamaikan Israel dengan Palestina dan menciptakan perdamaian secara menyeluruh di kawasan Timur Tengah itu dilakukan oleh empat pihak: AS, Uni Eropa, Rusia, dan PBB.
Akankah usaha paling mutakhir ini berhasil? Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Ketika prakarsa empat pihak itu dimulai (diumumkan 16 Juli 2002), situasi dan kondisi di lapangan memang berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Kelompok-kelompok utama, baik di Israel maupun di Palestina, berada pada posisi yang sama: menginginkan perdamaian. Mereka sama-sama menginginkan adanya kompromi dan solusi konflik yang pada akhirnya akan melahirkan dua negara yang hidup saling berdampingan secara aman dan damai.
Sementara itu, kelompok-kelompok radikal, baik di Israel maupun di Palestina, jumlahnya semakin sedikit. Mereka itu adalah kelompok yang tidak menghendaki berdirinya Negara Yahudi Israel dan kelompok yang tidak menghendaki berdiri Negara Palestina Merdeka.
Akan tetapi, sejak faksi radikal di Palestina, Hamas, memenangi pemilu legislatif pada tanggal 25 Januari, situasi di lapangan berubah. Peta politik di Israel pun, sejak Perdana Menteri Ariel Sharon keluar dari Partai Likud dan mendirikan Partai Kadima disusul terkena stroke, berubah. Ada tanda-tanda keengganan dari pihak Israel untuk duduk semeja dengan Hamas membicarakan perdamaian di masa depan. Memang, Hamas sudah menyatakan akan meletakkan senjata dan berunding, dengan syarat Israel melepaskan wilayah pendudukan, termasuk juga Jerusalem Timur.
Sampai di sini, fakta di lapangan mengisyaratkan bahwa perdamaian masih belum bisa terwujud. Paling tidak, dalam waktu dekat ini. Dalam kondisi seperti ini apa yang bisa diperankan oleh Indonesia. Pertanyaan lain mungkin, apa yang sudah dilakukan Indonesia untuk membantu menyelesaikan konflik Israel-Palestina?
Wujud konkret
Kesempatan bagi Indonesia untuk membantu menyelesaikan konflik Israe-Palestina, sebenarnya, terbuka lebar. Paling tidak, undangan kedua pihak yang berseteru—baik itu Israel maupun Palestina—merupakan tiket untuk masuk dan ikut terlibat. Israel secara jelas, seperti dikemukakan oleh Shimon Peres dan kemudian juga oleh Menlu Silvan Shalom, mengundang Indonesia untuk membantu menyelesaikan konflik. Bukan hanya Israel yang mengundang Indonesia untuk berperan aktif membantu menyelesaikan konflik di Timur Tengah, tetapi juga Palestina. Indonesia sendiri selalu menyatakan mendukung perjuangan bangsa Palestina.
Peluang ini yang rasanya perlu ditangkap oleh Indonesia. Sikap tegas menentang penjajahan merupakan sebuah keniscayaan. Demikian pula menciptakan ketertiban dunia merupakan sebuah tugas yang tidak bisa dipungkiri. Oleh karena kedua tugas mulai itu terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Itulah amanat konstitusi kepada bangsa ini.
Amanat Pembukaan UUD 1945 itu berulang kali ditegaskan oleh para presiden Indonesia dalam setiap pidato kenegaraannya. Misalnya, Presiden Megawati Soekarnoputri dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2004 mengatakan, ”Kita tetap mempertegas sikap Indonesia secara konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina dalam perlawanannya terhadap Israel.” Hal yang hampir sama ditegaskan pula oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraannya tanggal 16 Agustus 2005.
Apa wujud konkret dari tekad itu? Apakah sebatas pada retorika-retorika belaka? Apakah dianggap cukup, misalnya, menggelar demonstrasi-demonstrasi mengecam Israel dan mendukung Palestina? Berapa lama dampak sebuah demonstrasi kalau hanya diadakan sekali-sekali kalau pas ada isu yang mencolok berkait dengan masalah Palestina?
Harus diakui bahwa hingga saat ini sumbangan Indonesia bagi perdamaian di Timur Tengah yang sebenarnya sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang bertikai masih belum begitu konkret. Padahal, doktrin politik luar negeri Indonesia, bebas-aktif, mengamanatkan agar Indonesia bertindak aktif.
Kata aktif menunjukkan bahwa politik luar negeri Indonesia (seharusnya) tidak pasif dan hanya mengambil sikap netral dalam menghadapi permasalahan-permasalahan internasional. Sebaliknya, Indonesia harus selalu aktif, mengambil prakarsa, proaktif.
Dalam konteks konflik Israel-Palestina, maka jelas pula posisi yang seharusnya diambil oleh Indonesia: mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk mencapai kemerdekaan dan mendukung upaya perdamaian di Timur Tengah agar segera terwujud. Soal mendukung perjuangan bangsa Palestina, sudah sedari dahulu ditegaskan Indonesia. Dukungan itu dikonkretkan antara lain dengan menjalin hubungan diplomatik. Akan tetapi, rasanya hal itu tidak cukup. Sebab, bagaimana mungkin dapat memberikan dukungan sepenuhnya sampai cita-cita bangsa Palestina untuk mendirikan sebuah Negara Palestina Merdeka terwujud, kalau Indonesia hanya berkomunikasi dengan satu pihak.
Bagaimana mungkin mendorong terciptanya perdamaian kalau yang didorong hanya Palestina, sementara pihak yang satu, yaitu Israel, didiamkan. Sama halnya bagaimana mungkin terjadi perdamaian Israel-Palestina kalau kedua belah pihak tidak pernah berkomunikasi, tidak pernah bertemu, berunding, dan akhirnya bersepakat untuk mengakhiri peperangan, mengakhiri permusuhan.
Berkomunikasi tidak berarti harus menjalin hubungan diplomatik. Indonesia tetap bisa berkomunikasi dengan Israel tanpa harus menjalin hubungan diplomatik terlebih dahulu. Dengan kata lain, komunikasi tidak hanya bisa dilakukan lewat jalinan diplomasi resmi, hubungan pemerintah dengan pemerintah.
Unsur nonpemerintah
Fakta lapangan membuktikan bahwa pemerintah tidak bisa berjalan sendiri dalam konteks membantu perjuangan bangsa Palestina dan membantu menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Apa yang dilakukan pemerintah akan selalu berbeban politik dan risiko diplomatik. Sebagai contoh, ketika terbetik berita Menlu Hassan Wirajuda bertemu Menlu Israel Silvan Shalom di New York, AS, segera berbuah beragam pendapat, pro dan kontra, lebih banyak yang kontra. Meskipun dalam pertemuan itu secara jelas dinyatakan, ”tidak membahas kemungkinan pembukaan hubungan diplomatik”.
Bahkan Menlu Hassan Wirajuda pun harus menjelaskan bahwa pertemuan itu bersifat informal dan dilakukan di sela-sela pelaksanaan Sidang Umum PBB. Bahkan, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ikut menegaskan bahwa pertemuan Menlu Hassan Wirajuda dan Menlu Silvan Shalom ”hanya membicarakan topik seputar kemerdekaan Palestina dan keamanan di sekitar wilayah tersebut”.
Fakta itu memberikan pesan yang tegas bahwa pemerintah tidak bisa ”berjalan” sendiri. Peranan pemerintah memang penting. Namun, adalah tidak kalah penting peranan unsur-unsur nonpemerintah: kalangan universitas, usahawan, budayawan, bahkan wartawan. Barangkali pemerintah bisa mencoba untuk melibatkan kalangan nonpemerintah dalam mewujudkan cita-citanya membantu perjuangan bangsa Palestina dan menciptakan perdamaian dunia, perdamaian Timur Tengah.
Strategi ini bukan hendak mengurangi peranan pemerintah dalam hal Departemen Luar Negeri. Akan tetapi, justru sebaliknya. Lewat strategi ini, Departemen Luar Negeri dalam memanfaatkan unsur-unsur nonpemerintah dengan cara memfasilitasi. Dengan demikian, melibatkan unsur nonpemerintah tidak menggantikan peran dan fungsi Departemen Luar Negeri, melainkan merupakan sebuah strategi untuk memperluas spektrum upaya bangsa Indonesia membantu bangsa Palestina.
Memang, strategi ini membutuhkan waktu. Perdamaian memang tidak bisa terwujud secara mendadak sontak. Perdamaian tidak juga jatuh dari langit. Perdamaian membutuhkan proses, membutuhkan perjuangan, membutuhkan pengorbanan. Itu pula yang harus disadari dan dilakukan baik oleh Israel maupun Palestina.
trias kuncahyono
Akankah ada perdamaian di Timur Tengah? Fakta di lapangan, memang, membuat ciut hati semua pihak.
Sejak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menerbitkan Resolusi 242 Tahun 1967, sudah berapa banyak resolusi lainnya yang menyusul tetapi belum juga mampu menghentikan permusuhan Israel-Palestina. Sudah begitu banyak konferensi internasional atau perundingan perdamaian dilakukan, tetapi tanda-tanda damai itu juga belum kelihatan.
Dari sekian banyak perjanjian perdamaian, baru Perjanjian Camp David (1978) yang dapat dikatakan memberikan hasil. Perjanjian itu mengakhiri permusuhan antara Israel dan Mesir. Berdasarkan perjanjian itu, Israel mengembalikan Gurun Sinai yang direbutnya pada tahun 1967 kepada Mesir.
Usaha terakhir, sampai saat ini adalah lewat ”peta jalan damai” (roadmap). Usaha untuk mendamaikan Israel dengan Palestina dan menciptakan perdamaian secara menyeluruh di kawasan Timur Tengah itu dilakukan oleh empat pihak: AS, Uni Eropa, Rusia, dan PBB.
Akankah usaha paling mutakhir ini berhasil? Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Ketika prakarsa empat pihak itu dimulai (diumumkan 16 Juli 2002), situasi dan kondisi di lapangan memang berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Kelompok-kelompok utama, baik di Israel maupun di Palestina, berada pada posisi yang sama: menginginkan perdamaian. Mereka sama-sama menginginkan adanya kompromi dan solusi konflik yang pada akhirnya akan melahirkan dua negara yang hidup saling berdampingan secara aman dan damai.
Sementara itu, kelompok-kelompok radikal, baik di Israel maupun di Palestina, jumlahnya semakin sedikit. Mereka itu adalah kelompok yang tidak menghendaki berdirinya Negara Yahudi Israel dan kelompok yang tidak menghendaki berdiri Negara Palestina Merdeka.
Akan tetapi, sejak faksi radikal di Palestina, Hamas, memenangi pemilu legislatif pada tanggal 25 Januari, situasi di lapangan berubah. Peta politik di Israel pun, sejak Perdana Menteri Ariel Sharon keluar dari Partai Likud dan mendirikan Partai Kadima disusul terkena stroke, berubah. Ada tanda-tanda keengganan dari pihak Israel untuk duduk semeja dengan Hamas membicarakan perdamaian di masa depan. Memang, Hamas sudah menyatakan akan meletakkan senjata dan berunding, dengan syarat Israel melepaskan wilayah pendudukan, termasuk juga Jerusalem Timur.
Sampai di sini, fakta di lapangan mengisyaratkan bahwa perdamaian masih belum bisa terwujud. Paling tidak, dalam waktu dekat ini. Dalam kondisi seperti ini apa yang bisa diperankan oleh Indonesia. Pertanyaan lain mungkin, apa yang sudah dilakukan Indonesia untuk membantu menyelesaikan konflik Israel-Palestina?
Wujud konkret
Kesempatan bagi Indonesia untuk membantu menyelesaikan konflik Israe-Palestina, sebenarnya, terbuka lebar. Paling tidak, undangan kedua pihak yang berseteru—baik itu Israel maupun Palestina—merupakan tiket untuk masuk dan ikut terlibat. Israel secara jelas, seperti dikemukakan oleh Shimon Peres dan kemudian juga oleh Menlu Silvan Shalom, mengundang Indonesia untuk membantu menyelesaikan konflik. Bukan hanya Israel yang mengundang Indonesia untuk berperan aktif membantu menyelesaikan konflik di Timur Tengah, tetapi juga Palestina. Indonesia sendiri selalu menyatakan mendukung perjuangan bangsa Palestina.
Peluang ini yang rasanya perlu ditangkap oleh Indonesia. Sikap tegas menentang penjajahan merupakan sebuah keniscayaan. Demikian pula menciptakan ketertiban dunia merupakan sebuah tugas yang tidak bisa dipungkiri. Oleh karena kedua tugas mulai itu terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Itulah amanat konstitusi kepada bangsa ini.
Amanat Pembukaan UUD 1945 itu berulang kali ditegaskan oleh para presiden Indonesia dalam setiap pidato kenegaraannya. Misalnya, Presiden Megawati Soekarnoputri dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2004 mengatakan, ”Kita tetap mempertegas sikap Indonesia secara konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina dalam perlawanannya terhadap Israel.” Hal yang hampir sama ditegaskan pula oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraannya tanggal 16 Agustus 2005.
Apa wujud konkret dari tekad itu? Apakah sebatas pada retorika-retorika belaka? Apakah dianggap cukup, misalnya, menggelar demonstrasi-demonstrasi mengecam Israel dan mendukung Palestina? Berapa lama dampak sebuah demonstrasi kalau hanya diadakan sekali-sekali kalau pas ada isu yang mencolok berkait dengan masalah Palestina?
Harus diakui bahwa hingga saat ini sumbangan Indonesia bagi perdamaian di Timur Tengah yang sebenarnya sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang bertikai masih belum begitu konkret. Padahal, doktrin politik luar negeri Indonesia, bebas-aktif, mengamanatkan agar Indonesia bertindak aktif.
Kata aktif menunjukkan bahwa politik luar negeri Indonesia (seharusnya) tidak pasif dan hanya mengambil sikap netral dalam menghadapi permasalahan-permasalahan internasional. Sebaliknya, Indonesia harus selalu aktif, mengambil prakarsa, proaktif.
Dalam konteks konflik Israel-Palestina, maka jelas pula posisi yang seharusnya diambil oleh Indonesia: mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk mencapai kemerdekaan dan mendukung upaya perdamaian di Timur Tengah agar segera terwujud. Soal mendukung perjuangan bangsa Palestina, sudah sedari dahulu ditegaskan Indonesia. Dukungan itu dikonkretkan antara lain dengan menjalin hubungan diplomatik. Akan tetapi, rasanya hal itu tidak cukup. Sebab, bagaimana mungkin dapat memberikan dukungan sepenuhnya sampai cita-cita bangsa Palestina untuk mendirikan sebuah Negara Palestina Merdeka terwujud, kalau Indonesia hanya berkomunikasi dengan satu pihak.
Bagaimana mungkin mendorong terciptanya perdamaian kalau yang didorong hanya Palestina, sementara pihak yang satu, yaitu Israel, didiamkan. Sama halnya bagaimana mungkin terjadi perdamaian Israel-Palestina kalau kedua belah pihak tidak pernah berkomunikasi, tidak pernah bertemu, berunding, dan akhirnya bersepakat untuk mengakhiri peperangan, mengakhiri permusuhan.
Berkomunikasi tidak berarti harus menjalin hubungan diplomatik. Indonesia tetap bisa berkomunikasi dengan Israel tanpa harus menjalin hubungan diplomatik terlebih dahulu. Dengan kata lain, komunikasi tidak hanya bisa dilakukan lewat jalinan diplomasi resmi, hubungan pemerintah dengan pemerintah.
Unsur nonpemerintah
Fakta lapangan membuktikan bahwa pemerintah tidak bisa berjalan sendiri dalam konteks membantu perjuangan bangsa Palestina dan membantu menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Apa yang dilakukan pemerintah akan selalu berbeban politik dan risiko diplomatik. Sebagai contoh, ketika terbetik berita Menlu Hassan Wirajuda bertemu Menlu Israel Silvan Shalom di New York, AS, segera berbuah beragam pendapat, pro dan kontra, lebih banyak yang kontra. Meskipun dalam pertemuan itu secara jelas dinyatakan, ”tidak membahas kemungkinan pembukaan hubungan diplomatik”.
Bahkan Menlu Hassan Wirajuda pun harus menjelaskan bahwa pertemuan itu bersifat informal dan dilakukan di sela-sela pelaksanaan Sidang Umum PBB. Bahkan, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ikut menegaskan bahwa pertemuan Menlu Hassan Wirajuda dan Menlu Silvan Shalom ”hanya membicarakan topik seputar kemerdekaan Palestina dan keamanan di sekitar wilayah tersebut”.
Fakta itu memberikan pesan yang tegas bahwa pemerintah tidak bisa ”berjalan” sendiri. Peranan pemerintah memang penting. Namun, adalah tidak kalah penting peranan unsur-unsur nonpemerintah: kalangan universitas, usahawan, budayawan, bahkan wartawan. Barangkali pemerintah bisa mencoba untuk melibatkan kalangan nonpemerintah dalam mewujudkan cita-citanya membantu perjuangan bangsa Palestina dan menciptakan perdamaian dunia, perdamaian Timur Tengah.
Strategi ini bukan hendak mengurangi peranan pemerintah dalam hal Departemen Luar Negeri. Akan tetapi, justru sebaliknya. Lewat strategi ini, Departemen Luar Negeri dalam memanfaatkan unsur-unsur nonpemerintah dengan cara memfasilitasi. Dengan demikian, melibatkan unsur nonpemerintah tidak menggantikan peran dan fungsi Departemen Luar Negeri, melainkan merupakan sebuah strategi untuk memperluas spektrum upaya bangsa Indonesia membantu bangsa Palestina.
Memang, strategi ini membutuhkan waktu. Perdamaian memang tidak bisa terwujud secara mendadak sontak. Perdamaian tidak juga jatuh dari langit. Perdamaian membutuhkan proses, membutuhkan perjuangan, membutuhkan pengorbanan. Itu pula yang harus disadari dan dilakukan baik oleh Israel maupun Palestina.

0 Comments:
Post a Comment
<< Home