"BEO" SITUS RELIGUSITAS ORANG MANGGARAI
"Beo", Situs Religiusitas Orang Manggarai
BAGI orang Manggarai di Flores Barat, Nusa Tenggara Timur, kampung atau dalam bahasa setempat disebut beo tidak sekadar gugusan rumah sebagai tempat tinggal yang menjadi basis untuk menjalani rutinitas, tetapi juga gugusan ideologi sebagai basis untuk menjalani ritus-ritus.
TIPIKAL dalam tradisi berpikir orang Manggarai, beo dianalogikan sebagai papan tulis yang mewacanakan sekularitas sekaligus mendiktekan religiusitas. Sebagai papan tulis yang mendiktekan wacana sekularitas, kampung merupakan tempat tinggal yang dapat menjalankan rutinitas untuk memenuhi keutuhan hidup.
Sebagai papan tulis yang menyajikan religiusitas, beo (kampung) merupakan representasi pandangan hidup, nilai, kepercayaan, dan ideologi. Di sini, kampung berfungsi sebagai institusi mistis atau sebagai subordinat dari alam semesta semacam lino loe (bumi kecil).
Perspektif demikian sesungguhnya mencerminkan wordview (pandangan dunia) orang Manggarai tentang alam semesta. Orang Manggarai menerima alam dalam dua dimensi, yakni alam profan (natura) dan alam gaib. Alam profan dapat dikuasai atau dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sementara alam gaib (supranatura) adalah alam yang mengandung kekuatan yang transmanusia dan transempiris, mengandung kedahsyatan sekaligus menakjubkan: ata jari agu dedek (yang menciptakan dan yang menghidupkan). Kepada alam gaib ini mereka harus tunduk dan sujud. Mereka selalu berusaha membangun hubungan yang harmonis dengannya.
Meski demikian, alam natura dan supranatura bukan suatu yang distingtif, tetapi keduanya menyatu. Alam supranatura menyelinap di antara alam natura, seperti one temek (rawa-rawa), one pu’ung haju mese (pohon purba), one liang (dalam goa), dan one puar cengit (hutan angker). Dengan kata lain, alam natura hanyalah aksesori alam supranatura. Karena itu, setiap eksploitasi alam natura harus dilakukan upacara tegi agu ata morin (memohon izin kepada pemiliknya).
Konsekuensi dari tradisi pandangan demikian, masyarakat Manggarai tradisional menempatkan diri pada dua posisi sebagai "tuan" sekaligus "hamba" alam. Sebagai "tuan" dari alam, mereka dapat mengeksploitasi dan menguasai alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebagai "hamba" alam, mereka tunduk dan melakukan perayaan sakral secara teratur untuk menghormati dan memuliakan yang transenden, seperti upacara radang uma atau ruda lodok (pesta syukur atas panen kebun baru), upacara congko lokap atau seser tompok (ritus pembukaan kampung baru), dan jenis upacara lainnya.
Dengan kata lain, upacara, ritus, atau bentuk seremoni komunal lainnya pada dasarnya merupakan cara khas untuk membangun komunikasi yang indah antara manusia dan sesuatu yang transendental.
Kultur islamik
Sampai saat ini, tidak banyak penelitian dan argumentasi ilmiah yang menjelaskan secara memadai tentang keunikan kebudayaan Manggarai, terutama pengaruh kultur islamik versi Goa dan Bima terhadap hidup orang Manggarai hingga saat ini. Kecuali sedikit bahan yang membantu untuk memahami kekhasan ini adalah sejarah munculnya simbol-simbol islamik di Flores Barat (Manggarai). Inilah salah satu keunikan yang mungkin tidak dijumpai di daerah lain, yaitu kultur islamik yang hidup dalam lingkungan masyarakat Manggarai yang mayoritas menganut Katolik Roma.
Pada abad ke-16, Belanda berekspansi ke Flores Barat untuk menguasai Manggarai. Penguasaan Manggarai tidak dilakukan secara langsung oleh Belanda, tetapi melalui Kerajaan Goa yang berkedudukan di Sulawesi (Ujung Pandang). Jadi, Manggarai di bawah kekuasaan Kerajaan Goa.
Saat itu orang-orang Sulawesi memang telah memeluk agama Islam. Kehadiran Kerajaan Goa di Manggarai tidak menyebarkan agama. Kerajaan Goa hanya menjalankan pemerintahan yang digariskan Belanda. Meski demikian, secara kultural, simbol-simbol islamik dan doa-doa tradisional, khususnya, banyak dipengaruhi tradisi islamik Goa dan Bima.
Ada beberapa istilah yang sama antara orang Sulawesi, orang Bima, dan orang Manggarai, atau kemungkinan istilah itu berasal dari bahasa Sulawesi, seperti kraeng sebagai gelar bangsawan di wilayah Kerajaan Goa. Istilah itu digunakan pula untuk gelar bangsawan di Manggarai sampai sekarang. Mori, sengaji yang berarti Tuhan dalam bahasa Goa, juga mengandung arti yang sama di Manggarai. Kata kreba (kabar), rodong (sejenis kerudung yang hanya dipakai wanita), sa dako (sedikit atau segenggam), sebuah istilah yang biasa merujuk pada perilaku adil terhadap sesama.
Selain itu, dikenal pula simbol-simbol dalam cara berpakaian. Orang Manggarai, terutama kaum pria, hanya merasa sah atau menggunakan bahasa anak gaul menjadi pede (percaya diri) jika ia mengenakan peci hitam. Peci dan sarung sebagai pakaian resmi yang biasa digunakan dalam penampilan pesta atau acara ritual, termasuk mengikuti ritual misa di gereja. Cara berpakaian dan jenis pakaian seperti menjadi lambang kemanggaraian. Dari ciri kultural tersebut, orang Manggarai lebih dekat dengan Sape dan Bima di Nusa Tenggara Barat ketimbang suku bangsa Ngada, atau Ende, atau suku bangsa lain di Flores.
Ditemukan pula gejala parabahasa untuk berdoa secara islamik. Dalam perayaan Seser tompok (pembukaan kampung baru) atau ritus-ritus akbar lainnya, dilakukan doa yang paling sakral dan magis yang disebut tudak atau tola. Doa itu secara spontan dimulai dengan mengucapkan bunyi "e…" sepanjang tarikan napas sebagai cara berkomunikasi dengan Wujud Tertinggi.
Bunyi itu tidak mengandung makna, tetapi mempunyai referen. Artinya, bunyi itu diucapkan dengan nada panjang dan intonasi agak elegi karena ditujukan untuk mengundang Wujud Tertinggi hadir dalam perayaan tersebut. Setiap intensi yang akan disampaikan kepada Wujud Tertinggi didahului dengan mengucapkan bunyi vokal "e…". Dapat disimak salah satu bait doa di bawah ini.
E… senget lite le Morin agu Ngaran/ Ata jari agu dedek bunr awo kolepn sale/Ulun len wa.ingn laun/Tanan wa awangn eta
(E… dengar Tuhan yang di tinggi pemilik dari/Matahari terbit hingga matahari terbenam/ Dari utara hingga selatan/ Dari bumi hingga langit)
Jadi, bunyi "e..." tidak bermakna, tetapi mempunyai referen, yakni Morin (Tuhan), sebab mengucapkan vokal itu disertai dengan penyebutan Tuhan atau identitas kemahakuasaan Tuhan. Cara penuturan demikian dipertegas oleh cara duduk selengka leok (duduk berlipat kaki membentuk lingkaran) ala pengajian. Sementara si penutur (ata tola atau ata tudak) terutama pada tudak dalam ritus besar seperti Kelas Mese (kenduri akhbar) seluruh peserta harus menghadapkan muka ke utara sebagai kiblat tempat tinggal Morin Agu Ngaran (Tuhan Maha Pemilik).
Kampung tradisional dan maknanya
Kita memulai dengan melihat ciri pertama atau ciri yang paling mudah diamati, yaitu bentuk kampung orang Manggarai. Kampung tradisional di Manggarai berbentuk bundar dengan pintu saling berhadapan. Bentuk bulat menyarankan makna keutuhan atau kebulatan. Bentuk kampung demikian diperkuat oleh tuturan ritual.
Pa’an olo ngaung musi (dari halaman depan hingga butiran kampung), atau ucapan yang bersifat negasi pangga tu’un paang galu tu’un ngaung (memalang halaman dan mengunci butiran) sebagai idiom untuk menjelaskan bahwa bencana dan petaka tidak melanda kampung.
Ciri kampung bulat teraktualisasi pula pada gaya mereka dalam musyawarah.
Gaya duduk untuk bermusyawarah disebut lonto leok, yakni sejenis cara bermusyawarah dengan pola duduk berkeliling yang menyerupai bentuk kampung. Pola duduk demikian mengesankan bahwa mereka mempunyai kedudukan yang sama dalam menyampaikan pendapat. Dan, keputusan yang diambil harus bulat seperti posisi duduk mereka.
Ciri kedua ialah ngadu atau Compang. Compang (ngadu, soa) merupakan susunan batu di pusat kampung yang diyakini sebagai tempat tinggal Naga Beo (penunggu kampung). Inti religiusitas kampung adalah ngadu atau compang. Susunan batu ngadu sekaligus sebagai altar untuk menyajikan persembahan kepada Morin Agu Ngaran. Secara mistis kampung dibagi atas tiga, yakni pa’ang (bagian depan), ngandu (pusat), dan ngaung atau musi (bagian belakang kampung).
Pa’ang selalu diasosiasikan sebagai tempat yang suci sekaligus menjadi kiblat tempat tinggal orang meninggal yang telah dikuduskan jiwanya melalui upacara nios rewun gerak tana, ungkapan metaforis untuk upacara penyucian arwah orang yang meninggal. Mereka yang telah meninggal disebut pula warga ata pa’an bale (seberang utara).
Ngadu (pusat kampung) menjadi tempat berdiam dan pemujaan terhadap Morin agu Ngaran. Sementara ngaung atau musi (butiran kampung) selalu dikonotasikan pada sesuatu yang buruk. Dalam tuturan ritual, misalnya, terdengar "kaut lut ngaung plot lut lewong" (buang segala sesuatu buruk ke belakang). Dalam fungsi pragmatis, bagian belakang kampung merupakan tempat buang sampah, termasuk sampah berupa dosa dan kesalahan melalui ritual oke (membuang).
Ciri ketiga, di tengah susunan batu (altar sekaligus tempat Naga Beo) ditanami pu’ung purus atau langke (pohon beringin). Pohon itu dilarang dipangkas apalagi dipotong. Orang Manggarai yakin bahwa di bawah pohon itulah si Naga Beo berteduh dan berdiam. Pohon itu menjadi pu’ung cengit (pohon magis). Jika pohon itu ditebang atau dipangkas, marahlah si Naga Beo, dan ia akan murka terhadap warga kampung.
Marsel Robot, Dosen Undana Kupang, Kandidat Doktor Universitas Padjadjaran Bandung

0 Comments:
Post a Comment
<< Home